Terkadang aku tak mampu mengerti. Dunia apa yang sedang aku jalani saat ini. Terlalu rumit untuk dicerna, katanya. Kadang hati sudah ingin berkonsolidasi dengan segala-segala kemungkinan yang terpampang di depan mata, namun ada saja ganjalannya. Ada saja penghambatnya. Ffiuuh...
Kita bahkan tak tahu. Pada titik mana kita akan tersandung. Segalanya terasa rapi kini, ketika realitas belum terwujud. Masih sebatas planning-planning matang. Pernahkah sadar sedikit saja, bahwa sematang apapun planning itu, masih bisa berubah sedikit atau bahkan berubah secara keseluruhan? Kadang keadaan memaksa kita harus merubah rencana. Bukankah begitu? Lagipula sudah ada 'Sutradara' yang melakonkan kehidupan kepada kita. Sewajarnya jika sering berubah...
Banyak hal yang kurencanakan dalam hidup ini. Mungkin karena pengaruh orang tua yang tak ingin anaknya berakhir pada kesia-siaan (semua orang tua tentu berharap seperti itu), aku merencanakan segala sesuatu terkadang terlalu muluk. Terlalu banyak impian. Namun, entah kekuatan darimana, sedikit demi sedikit juga terwujud. Bisa dibilang aku sukses meraih mimpi meski belum terwujud semuanya. Planning-planningku juga tetap sama. Hanya ada beberapa tambahan. Kadang aku malah lebih sering mengikuti arus daripada 'rencana masa depan'ku sendiri. Lebih terasa nyaman. Tetapi sebelum aku terhanyut. Aku harus segera sadar. Aku tak boleh terlena. Aku juga harus memikirkan masa depanku yang bukan hanya menjadi milikku. Aku ditakdirkan untuk mengabdi, bukan dilayani. Memberi, bukan meminta. Hidup terkadang terlalu menuntut menurutku. Tetapi bukankah memang harus begitu?
Sekarang, ketika tak dinyana api cinta mulai menjilatku. Aku mengambil seember air untuk segera memadamkan apinya yang sepercik. Aku tak boleh terlibat pada kisah percintaan serius. Tak boleh. Banyak orang yang menungguku menjadi 'orang'. Banyak hal yang harus kukerjakan. Mungkin banyak yang menganggapku main-main. Tetapi aku telah mendapat tamparan keras kemarin. Saat aku 'mencuri start' untuk mencicipi madu cinta. Kini aku tak boleh terjatuh pada lubang yang sama. Tak boleh bermain-main dengan percikannya atau akan terbakar oleh sulutannya. Aku harus sabar menunggu. Ada saatnya.
Aku harus segera mengantisipasi segala hal. Aku mempertaruhkan masa depanku dan orang banyak. Aku harus mulai belajar bertanggung jawab sesungguhnya. Kembali menuju sadar sesungguhnya.

Yogyakarta, 31 Juli 2009

Dalam kepalaku mengalun lagu Frente -Bizzare Love Triangle-

"Everytime I think of you
I get a shot right trough into a bolt of blue
It’s no problem of mine but it’s a problem I find
Living a live that I can’t leave behind

There’s no sense in telling me
The wisdom of a fool won’t set you free
But that’s the way that is goes and this what nobody knows
And every day my confusion grows

Everytime I see you falling
I get down on my knees and pray
I’m waiting for that final moment
You say the words that I can’t say

I feel fine and I feel good
I feel like I never should
Whenever I get this way I just don’t know what to say
Why can’t we be ourself like we were yesterday

I’m not sure what this could mean
I don’t think you what you seem
I do admit to my self that if I hurt someone else
Then I never see just what we’re mean to be

Everytime I see you falling
I get down on my knees and pray
I’m waiting for that final moment
You say the words that I can’t say

Everytime I see you falling
I’ll get down on my knees and pray
I’m waiting for that final moment
You say the words that I can’t say"

Aku jatuh cinta. Itu saja. Terimakasih.
Yogyakarta, 06 juli 2009

--Mulai memahami diri sendiri--
Kadang aku merasa bahwa terlalu berat beban yang disampirkan pada pundakku. Namun seseorang berkata padaku, "Jangan menganggapnya beban. Tentulah merasa berat...", mungkin benar juga. Lalu pertanyaannya adalah, 'Aku jadikan apa?'.
Banyak orang yang hanya berhasil menjadi konseptor besar tanpa mampu berperan sebagai praktisi yang besar pula. Hmm... aku suka berfikir begini. Karena yang terasa adalah 'seolah-olah' aku lah yang paling benar.
Sejak kecil, saat aku tahu 'Harapan' apa yang disampirkan padaku, aku sering berfikir. Siapa aku ini? Mengapa hidupku harus berbeda dari anak seusiaku? Akankah aku sebebas mereka? Namun ayah selalu memberikanku kemerdekaan berfikir melalui buku-buku yang dibelikannya untukku. Sehingga aku selalu merasa lebih pintar dari mereka.
Sombong.
Aku sudah tahu. Terkadang seseorang kurang 'bisa' menerima kelebihan yang ada pada diri mereka. Beginilah, terlalu 'rapuh' hingga merasa angkuh. Sejak kecil aku memang memiliki sifatku yang sekarang.
Sekarang, siluet-siluet tampak nyata terang dalam pandanganku.
Haruskah begitu??

Hmm...
Ini masih juli. Terkadang aku teringat dengan beberapa perasaan yang ambigu. Hingga benar tak terlacak.

Jelas dan amat terang pembacaan dalam memoriku.
"Tak ada yang lebih indah dari puisi selain bicara tentang kebenaran..."
-Soe Hok Gie-

Indah bukan?
Atau masih sangsi?

Tidak jadi nonton Festival Gamelan di detik-detik akan berangkat ke TBY. Kesal bukan?

Beberapa malam terakhir ini aku selalu bermimpi tentang masa kecilku. Entah itu berkisah tentang indahnya atau sesuatu yg tak ingin aku kenang lagi.
Aku seperti terbangun pada sebuah kesadaran yang selama ini tersembunyi dari rutinitasku yang memang menyita waktu. Tuhan sepertinya ingin aku mengingat itu. Ingin aku mengenang kembali. Tak ingin aku serta merta lupa.
Mimpi-mimpiku seperti siluet indah namun mencekam. Melemparkan aku pada masa kecil yang nyaris tak ku ingat. Hmm...
Mimpiku begitu lengkap berkisah tentang aku. Tentang kenakalanku. Tentang impian-impian manisku. Aku tak ingat. Tapi, ternyata alam bawah sadarku begitu ingat.
..........
Saat itu aku berumur 4 tahun dan Bunda telah menyuruhku mengaji setiap sore di rumah seorang ustadz NU yang baru datang dari Jawa. Karena tergoda ajakan seorang teman, aku tak pernah mengaji. Setiap sore aku selalu nangkring di atas pohon cermai. Menyesap kecutnya yang kusuka. Hingga kini pun, Bunda tak tahu tentang itu.
Umurku 6 tahun, tapi aku sudah hafal surat-surat pendek. Walau sedikit. Bunda bangga sekali padaku. Dengan senang, diajaknya aku nyekar ke makam mbah putri dan mbah kakung di Cepu. Padahal, sepupu-sepupuku yang lain tak pernah di ajak orang tuanya. Konon, makam mbah kakung itu angker. Namun kata Ayah, yang namanya cucu, tak mungkin disakiti. Jadilah hari itu aku nyekar ke makam mbah kakung dan mbah putri.
Sejak kecil aku tak suka tinggal diam di rumah. Aku suka melakukan aktifitas di luar rumah. Bermain dari pagi hingga malam tanpa pulang aku sanggup. Biasanya, Mbak Min, pengasuhku, akan pontang-panting mencariku kesana-kemari.
Jika hari libur, Ayah akan mengajakku ikut bermain layangan bersama anak-anak tetanggaku di lapangan depan rumah. Ayah tak pernah berfikir bahwa layangan hanyalah mainan untuk anak laki-laki. Biasanya Bunda yang melarangku ikut. Bunda tipe ibu-ibu cerewet yang terlalu khawatir dengan anak-anaknya.
Anak-anak kecil seusiaku tak banyak saat itu. Meski tak banyak, aku sudah lupa nama mereka satu-persatu. Bahkan teman sebangkuku ketika SD pun aku tak ingat. Waktu memang telah banyak merubahku. Lapangan depan rumah juga sudah tidak ada lagi. Berganti dengan rumah mewah berderet-deret (yg dibangun Ayah).
..........
Aku tak ingat jelas masa kecilku. Yang kuingat, aku banyak menelan kekecewaan atas musnahnya mimpi-mimpi yang aku rajut saat itu.

bersambung...

Wednesday, July 08th 2009.

Malam ini sungguh tak ada ide. Minus inspirasi. Membuat lelah otak dan imajinasi. Mungkin aku perlu refresh beberapa jenak hanya untuk mengembalikan sajak yang hilang karena inspirasiku entah kemana. Bingung aku membaca kata-kataku sendiri. Oke, aku akan memalingkan wajah pada lembaran naskah novelku yang tak pernah kusentuh beberapa waktu.

(Ini ceritanya aku lagi mau buka file novel)
Klik…klik…klik…

……..
………….
……………..
Zzz…
Zzzzzz……
Zzzzzzzzz…….

Kok malah mau tidur?
@#R!$#^$&%*()&)&)*&&^&%%$#@#!!#@$%@

Oke, oke, aku nggak serius. Hmm… baru membuka mata ingin membaca malah malas. Entah, bagaimana caranya, malas akhir-akhir ini dengan amat mudahnya menggelitiki aku yang sedang jenuh. Padahal masih ada beberapa buku yang juga harus di resensi.

Ffiuuh…
Pingin jalan-jalan. Ke Ketep kayaknya enak, ya… Tempatnya adem. Jauh lagi. Bagi anda-anda para pembaca yang belum tau Ketep, akan saya jelaskan. Ketep adalah salah satu daerah pegunungan yang dijadikan tempat wisata. Mirip-mirip puncak di Bogor gitu deh. Tempatnya enak dipake pacaran (Lho? Nglantur!) –maaf yang ini diralat- tempatnya enak buat dijadikan sumber pembangkit inspirasi. Khususnya bagi anda-anda yang membutuhkan inspirasi sebagai penopang hidup (ngomong apa siy gue?)ya gitu, deh, pokoknya.
Eits, bentar dulu. Aku tau apa yang sedang anda semua fikirkan. Emang punya duit? Iya, deng! aku lagi tongpes. Hiks…hiks… Impian indah mau walking-walking ke ketep sirna mengingat dompet lagi kosong, bersih dan mulus bebas tanpa hambatan (emang punya dompet? He3).

Jiah...!
Mati ide lagi deh, gue! Oke, sebagai mahasiswa miskin dan penulis nggak laku (Ehem! Semoga kalian-kalian yang mengenal aku dengan baik tak pernah membaca tulisan ini. Amin.) mending kayaknya cari tempat refreshing yang murah tapi deket (bukan bonbin, emang aku anak TK?) apaan ya???
Aha! Mall! Aku harus berubah jadi anak mall sekarang! Tapi kalo ke Mall juga harus ada duit kan... Nggak mungkin kita cuma window shopping doank! Lagian aku kan masih terapi shoppaholic. Ntar malah gagal lagi!

Jiah...!
Kehabisan ide lagi! Bingung niy mau ngapain...

Yaudah, nonton film ajah deh.
Finally, setelah melalui berbagai ide yang berakhir kebuntuan, aku memutuskan untuk nonton film 'Vicky Christina Barcelona' dan 'Happy Feet' sepanjang malam.
Hmm...

Sunday, July 05th 2009
(Kemarin-kemarin ni laptop rusak, jadi baru bisa nge-post sekarang!)

Halo, disini Windha Larasanti Ibrahim. Melaporkan dari kamar kos yang luas karena ditinggal teman sekamarnya. Ingin mengeksploitasi penderitaannya selama Weekend ini.
Oke, pasang telinga baik-baik. Berikut laporannya,

Winda said,
"Malez banget neh. Weekend-weekend gini(maksudnya lagi nggak ada duit, nggak ada temen) menanti nasib. Nungguin ada yang ngajakin keluar. Malam minggu neh... Sedih banget! Gak ada yang ngajakin keluaaar!!! I'm boring!

Haloo... Orang-orang pada kemana nih?? Kok nggak ada yang ngajakin tuan putri (maksudnya aku >_<) keluar??

Ppfiuh...

Malez cuiy...
Ni ada senior yang nelpon aku. Ngajakin keluar. Jalan-jalan katanya. Tapi ngajakinnya ke...

BLANDONGAN.

Hadah! Nggak seru banget siy??
Yawdah deh. Mang nasib loe, win...

Daripada di kos merana??

Si Jelek! Kok pulang lagi siy?
Febrian Danastri! Kapan balik? Kos gede banget nih...
Susah bersihinnya!

Yaudah deh, terpaksa! Ngabisin weekend di BLANDONGAN. Okelah."

Baiklah pemirsa. Sekian sekilas info pada petang ini.

Ffiuh...
Nggak ada yang aku dapatkan dari diskusi tadi malam kecuali ngantuk dan beberapa cemilan. Pikiranku sumpek mikirin IP yang jelek dan kerjaan yang tanpa permisi menumpuk tanpa kuminta. Nggak tau ya, kalo aku sedang dalam fase JENUH?
Itulah PMII, seluruhnya berisi cas-cis-cus bernada PMII dan orang-orang yang 'sangat PMII'. Mumet gila!

Temen-temen ngajak nongkrong semalem. Tapi aku nggak mau. Malez benget gitu jadi kelelawar terus. Capek. Lagi pengen nonton tv ajah...

$@##$$$^*&^(*&(*)^%%$$#....

STOP! STOP! OK!
I Know! Banyak yang bertanya-tanya, kenapa aku malah pengen nonton tv??? Gak papalah... Kali ini ajah...
Lagian nanti bukannya aku bakal kerja dengan segala atribut tv??
Hehehe...
Nglantur ajah neng!

Sepi banget siy nih kos.
Kamar ini terasa sangat amat luas ditinggal salah satu penghuninya.
So, I'm Alone... Yuhuu...

Nggak kerasa yah, udah weekend lagi. Weekend ini mau ngapain yaah??
Ffiuuh...
Lagi nggak ada duit. Jadi nggak bisa ngapa-ngapain.
Pengangguran, dunk?
Hehehe...

Berdosa banget sama Bani Israil yg suka ku ledekin 'PENGANGGURAN'.
Siaaah...

Kok makin nglantur, yah?
L. H. O.
Lho??
Bukannya ini emang edisi nglantur?
Hahahaha...

Udeh dulu yaw!
Ntar kalo ikutin aku terus, bisa ketularan gila!
Biasa, orang mati gaya ya kayak aku gini nih!
Okelah!
Bye! C U...

Dengan secangkir kopi pahit hasil luwak beroksidasi.
Kubuka kabar pagi itu tanpa basi.
Kudapati senyum kekasihku begitu merdu mendera telingaku.
Ah, tak ingin ku kehilangan gairah pagi ini.
Sungguh.
Dengan jemantik yang halus memindai ujung gairah.
Bagai aliran gejolak yang tak terarah.
Hasrat yang tumpah.
Ujung mataku menangkap sebuah orbituari pada kabar itu.
Kekasihku yang lain menyentuh alam lain.
Aku tersedu.
Lalu aku kehilangan senyum dan gairah kekasihku.

Kudapati diriku dalam alam tanpa sadar yang begitu kelam.
Terhanyut hingga ke muara yang petang, bau usang.
Longoklah dalam pada dinding kaca yang sengaja menyerpihkan tubuhnya kecil-kecil.
Menusuk-nusuk manis pada sepotong hatiku yang jambu.
Ingatkah kau kawan?
Pada kisahku yang membulirkan air asin pada sudut matamu?
Mencengkam bukan?
Seperti itulah rasa sunyi yang menyambangiku malam-malam.
Begitu syahdu mengajakku menikmati keindahannya hingga kepayang.
Romantisme kesunyian itu hilang dibawa kelam yang memetangi alam.
Aku tak ingin kehilangan sunyi.
Sunyiku kudu mencengkam.
Agar kudapat menangkap bayang-bayang.

Tertinggal? Hmm...
Jauh sudah aku memikirkan bayangan kelabu yang berserakan di memori otakku. Tampaknya memang enggan beranjak. Aku merasa kehidupan telah jauh berjalan, terlalu cepat berlari, hingga ku tak sempat untuk mengikuti.
Itu memang karena aku yang hanya mempu berdiri di tempatku berpijak ini.
Ppffiuh...
Speechless, you know?
Sampai kapan hal ini harus terjadi?
Aku tidak menyukai bayangan laluku berjalan disampingku.\
So, pahamilah aku yang telah membuang semua itu dalam pada bongkahan batu, tanah dan kerikil. Lucunya aku, yang menjadi sangat anti pada masa lalu yang terus mengejar.
Tak sadarkah, masa depanku di pelupuk mata?
Kawan-kawanku, nantilah aku!
Masa laluku, pergi jauh dari hidupku!

Semua yang berada dibelakangku mulai berubah ketika kumantapkan langkah mengarah ke masa depan. Kematian selalu ada setelah kehidupan. Bukankah begitu? Dan setelah masa lalu, selalu ada masa depan. Tuhan memiliki alasan dan kita punya kesempatan.

Beberapa bulan terakhir ini, setelah melalui banyak hal yang mencengangkan dan sulit untuk kulupakan, aku mulai menyadari hidup seperti apa. Kemudian kuputuskan untuk melanjutkan hidupku. Aku berhak untuk itu.

Biasanya setiap orang memulai harinya setiap senin. Namun aku memulai hari saat minggu. Aku mengajar hari ini. Muridku lucu sekali. Kadang aku ingin menyelami alam pikirannya. Berpura-pura seperti dia. Agar aku dapat mengoreksi cara mengajarku. Membosankankah atau monotonkah. Tapi, sia-sia. Aku nggak bisa. Bagaimana mungkin gadis berusia 19 tahun mencoba menjadi lelaki berusia 8 tahun?

Stupid!

Tapi kupikir mengajar menyenangkan juga. Aku hanya perlu bertahan...

It's my life.

Biasanya ketika pagi menjelang, dengan senang hati akan mendengarkan irama burung dan sebagainya. Tapi, disini, yang kudengar hanyalah kicauan sepeda motor yang melengking keras. Merusak pagiku dengan secangkir teh hangat.

Semalam, setelah insomnia kambuh lagi, aku menenangkan diri dengan segelas susu coklat yg katanya mampu membuat ngantuk. Efektif! Akhirnya aku tidur... dengan sebelumnya mengakhiri semua obrolan dengan beberapa teman di facebook.

Hari ini mau ngapain, yaa....

Beberapa teman mengajak keluar. Malez banget...
Ke LIP? Aku gak mau dengerin orang ngomong Perancis lagi!
Ah,
Si Jelek lagi ngapain, y, dirumah?
Hmm...

Pengen sante-sante aja minggu ini. Kangen si Jelek, tapi sebel juga.

Harusnya pagiku istimewa. Istimewa dengan segala planning yang rapi. Ah, jadi orang santai aja hari ini! No more planning...

Dan tak kudengar alam berdendang...

Hei! Kemana aja loe?
Lama nggak nongol! Gitu kali yaa, kalo blogku bisa protes ke aku..
Hmm.... Aku ngarasa akhir-akhir ini memang ngoyo banget. Jadi nggak ada waktu buat diri sendiri dan orang tersayang.
Tapi aku yakin. Ini baru awal. Aku ingin menjejak langkah yang tertinggal. Agar semua orang tak mudah melepas aku dari ingatan mereka.
Kejam pada diri sendiri? Nggak juga. Dulu aku terlalu memanjakan diri. Kini saatnya kerja keras dan mencari jalan mempelajari arti hidup.
Kejam pada orang tersayang? Nggak juga. Segalanya berjalan baik menurutku. Si Jelek juga nggak pernah mengeluhkan intensitas ketemu kita yang super sempit. Pengertian, that's the key! Dia juga nggak kalah sibuknya sama aku.

Huuaah.... ngantuk!
It's time to sleep...
Bye!

Dulu saya sangat tertarik dengan kehidupan angkasa luar. Entah itu UFO, ET dan lain-lain. Saya selalu yakin, bahwa alien, makhluk berlendir berwarna hijau itu benar-benar nyata. Hingga akhirnya saya menjadi sangat menyukai memandang bulan dan bintang di malam hari (waktu itu saya berharap dapat melihat bayangan manusia berjalan di bulan. Neil Amstrong benar-benar menjadi ilham kenapa saya begitu). Dalam sekejap saya menyukai sains. Menyukai bintang. Bulan. Angkasa luar. Mengamati langit di malam hari. Berharap suatu saat saya dapat menjejak langkah di bulan.

Hari-hari saya habiskan hanya untuk membaca buku di perpustakaan kota (orang tua saya telah membuatkan kartu anggota perpustakaan kota sejak saya sudah bisa membaca. Berarti saya telah memiliki kartu perpustakaan ketika berusia empat tahun! Adakah anda seperti saya?). Saya banyak membaca buku tentang itu semua. Bahkan saya menguasai banyak teori terciptanya alam semesta (sekarang tak ada jejaknya dalam otak saya, yang tersisa hanyalah teori Big Bang). Semakin lama, saya semakin sadar. Alam semesta menyimpan banyak misteri dan saat itu juga saya berkeinginan untuk mengabdikan diri pada NASA, agar hasrat keilmuan saya akan alam ini terpuaskan. Ketika anak seusia saya menyukai bermain Barbie (saya lahir dan besar di kota. Jadi mainannya adalah Barbie. Bukan gobhak sodhor), saya lebih asyik membuat gambar tentang UFO, memainkan imajinasi ketika bertemu dengan ET, menonton film tentang luar angkasa, berharap di recruit Power Rangers untuk membasmi alien jahat, dan lain-lain (saya sempat takjub dengan diri saya sendiri, bagaimana bisa saya mampu mengerjakan itu semua, melihat kesibukan saya yang padat sebagai anak kecil?)

Waktu itu saya baru berumur delapan tahun. Kesukaan saya yang berlebihan ternyata membuat Bapak khawatir. Kemudian dialihkanlah perhatian saya dari UFO ke kehidupan Dinosaurus. Diajaknya saya menonton film kartun tentang dinosaurus, seperti Little Foot dan Dinosaurs. Dibelikan ensiklopedia tentang jenis-jenis Dinosaurus dan miniature Dinosaurus. Ternyata Ayah tak berhasil menghilangkan problem kecanduan saya. Bukan, bukan karena perhatian saya tetap terpaku pada angkasa luar. Melainkan saya pada akhirnya menjadi kecanduan dinosaurus, hahaha…

Saya memang mudah untuk menyukai sesuatu. Pada akhirnya saya tetap menjadi orang yang adiktif terhadap hal-hal yang menarik perhatian saya. Tak salah orang tua saya begitu khawatir melihat tingkah laku saya yang seperti itu. Tetapi, pada akhirnya itu membuat saya berbeda dengan anak-anak seusia saya. Saya menjadi lebih peka. Setiap sore setelah pulang mengaji Qiroati, saya sempatkan untuk menonton serial anak Jepang. Ultraman. Berbagai macam jenis Ultraman dan monster-monsternya saya hafal (saya dulu mengira bahwa dinosaurus itu satu jenis dengan monster-monster Ultraman).

Beberapa bulan kemudian saya menjadi sangat menyukai Ultraman dan bermimpi menikah dengannya. Finally, I know it’s very silly. Karena kemudian saya tahu, bahwa dinosaurus dan monster Ultraman berbeda. Dan saya tahu setelah menonton film Jurrasic Park berkali-kali. Demi melampiaskan kekecewaan karena kebodohan dan salah sangka. Saya banting stir dengan menonton film Lion King dan Discovery Channel (setelah orang tua mengambil keputusan untuk berlangganan tv kabel, saya bisa menonton saluran Discovery yang saat itu belum booming di Indonesia). Endingnya pun bisa ditebak. Saya jadi tergila-gila pada satwa liar.

Ketika kau hilang dari garis pandangku
Dunia seakan ikut tertelan oleh lenyapmu
Aku yang hampa tak mampu berkata
Bahkan bersuara.

Lemahnya diriku tanpa eksistensimu dalam radar penglihatanku
Meski rapuh,
Tak kumiliki teluh

Jiwa dan hati yang mati ini tak lagi memiliki kata
Hingga syair pujian terhenti sampai disini.


Yogyakarta, 18 Maret 2009

Ketika aku jatuh cinta,

Kudapati euphoria dalam diriku manjadi gila.

Ketika aku merasa bahagia,

Beribu bintang pun seakan menyumbang tawa.

Ketika aku ingin bicara,

Rumput dan dedaunan memberi jeda.

Dan ketika aku merasa sepi,

Dunia seolah-olah ikut mati.

Yogyakarta, 17 Maret 2009

Mereka menertawakan saya dan mengatai saya. Mereka bilang saya tolol. Karena saya lebih suka memakai kostum monyet daripada manusia. Karena saya lebih suka bertingkah seperti monyet ketimbang manusia. Saya menertawakan dan mengatai mereka yang menertawakan dan mengatai saya. Saya bilang mereka tolol. Karena mereka lebih suka memakai kostum manusia daripada monyet. Karena mereka lebih suka bertingkah seperti manusia ketimbang monyet. Mereka heran. Maka tampak bertambah tolol lah mereka yang menertawakan dan mengatai saya itu. Saya lebih memilih untuk menjadi monyet yang memang tidak dikaruniai akal lebih oleh Tuhan. Daripada menjadi manusia yang ternyata berakal tak lebih baik dari monyet

Yogyakarta, 21 Maret 2009

TERLARANG

Kala itu, sang Biduan tengah terduduk

Tampak sepi.

Bahkan sunyi…

Adakalanya mata pemuda itu tengah menatap

Mencuri.

Sarat akan kerinduan…

Sunyi seakan tarian

Kidung pun mendung

Lalu,

“Cinta itu adalah sunyi diantara kita…”

Kata pemuda

“Tak kuanggap diam adalah sunyi. Karena masih ada suara diantara kita.”

Jawab Biduan

Dan memang,

Rintik hujan menjadi pengiring episode terlarang mereka

HUJAN

Hujan tak kunjung reda

Seakan ingin menyelimuti mereka

Yang sedang duduk disana

Di bawah pohon palem,

Di antara kemelut rasa,

Biduan itu,

Pemuda itu,

Bersitatap.

Memompa energi rasa

Hingga memenuhi setiap kekosongan

Pada akhirnya,

Hangatnya hujan menjadi milik mereka…

“Andaikan bumi ini hancur, Langit ini runtuh,

Cinta ini takkan seperti bumi dan langit…”

Kata Pemuda.

“Ah, ironi selalu ada. Harapan pun tak jarang menjadi penghalang.”

Jawab Biduan.

Pemuda mendesah.

Berat.

Dalam.

“Mengapa cinta itu menyakitkan seperti ini?”

Risau Pemuda.

Biduan itu memejamkan mata.

“Cinta itu tidak menyakiti kita. Tapi, keadaanlah yang membuat sakit.”

Pohon palem dan rintik hujan

Masih setia menaungi mereka.

EPILOG KERINDUAN

Gerimis yang sama

Situasi yang sama

Tak ada yang berubah.

Tetap Biduan itu,

Tetap Pemuda itu.

Cinta pun, masih seperti itu

Jika kerinduan itu adalah nyata

Maka, mereka tentu akan bersuka cita

Hanya saja,

Cinta dan rindu itu absurd adanya

Dan kelelahan pun menghampiri mereka

Denpasar, 23 September 2008

Sejak memasuki bangku menengah atas, saya sangat tertarik dengan diskusi tentang perempuan. Entah gender atau feminis. Ada banyak hal menarik tentang perempuan yang harus dikaji. Dan ternyata, selama ini saya menikmati untuk mendalaminya.

Dimulai dari semangat salah satu guru favorit saya saat itu dan juga merupakan kepala sekolah saya, dalam menanamkan ‘implan’ kesuksesan, bahwa kami para perempuan anak didiknya tidak boleh kalah melawan zaman. Saat itu, setiap perkataan dan sikap beliau yang berapi-api dalam menyuarakan kecerdasan otaknya benar-benar membius saya untuk menjadikan beliau salah satu perempuan yang saya kagumi setelah ibu kandung saya. Nama guru saya itu, Ibu Dra. Hj. Umdatul Choirot Nashrullah.

Dengan alasan-alasan tersebut diatas, ternyata masih belum cukup meredam keingintahuan orang-orang disekitar saya, mengapa kajian gender sangat menyita perhatian saya. Dan hal ini benar-benar saya maklumi. Karena ada beberapa alasan lagi yang membuat saya sangat tertarik. Bukan karena saya perempuan. Tetapi, karena saya mengalami apa yang namanya ‘mendapat perlakuan tidak adil dari laki-laki’.

Beberapa tahun sebelum saya lahir, keluarga besar Ibu saya hanya mementingkan pendidikan untuk para anak lelakinya. Anak perempuan hanya cukup belajar memasak dan sekolah seadanya. Tanpa perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kuliah misalnya. Kekurangan dalam mendapatkan ilmu itulah yang kemudian membuat Ibu saya terpompa semangatnya untuk menyekolahkan kelima putrinya (termasuk saya) hingga setinggi-tingginya.

Bukan hanya alasan-alasan tersebut yang membuat saya benar-benar tertarik untuk menggeluti bidang ini. Tetapi, ada banyak dorongan-dorongan yang membuat saya dengan senang hati terjun langsung di dalamnya. Yaitu, nasib para perempuan di negeriku Indonesia yang belum terjamah oleh kemakmuran intelektualitas.

Ketertarikan saya bertambah ketika saya sedang belajar membaca realitas di sekitar saya. Begitu banyak hal berbeda yang menjadi salah satu pengalaman hidup yang menarik. Ada banyak perempuan di negeri tempat saya lahir ini yang benar-benar tidak terkena bias perjuangan Ibu Kita Kartini (selalu terpatri dalam benak saya, bahwa nama Ibu Kartini selalu ada kata ‘Kita’nya, he3). Entahlah, saya merasakan banyak sekali kegelisahan-kegelisahan yang tak teredam dan tak bisa diungkapkan melihat realitas yang ternyata jauh lebih riil dari pengalaman hidup saya (saya merasa sudah sangat tua semenjak merayakan ulang tahun terakhir sehingga wajar menyebutkan kata ‘pengalaman hidup’). Ternyata, kesimpulan yang saya petik adalah… saya salah seorang perempuan paling bahagia di negeriku Indonesia. Karena mampu berfikir tentang kemajuan kaum perempuan dengan intelektualitas tanpa batas. Intinya (tanpa mengurangi rasa GR), saya sudah sangat bersyukur telah menjadi perempuan tanpa pembelaan (terlalu banyak perempuan yang membutuhkan advokasi karena kasus KDRT, pemerkosaan dan lain-lain yang tak mungkin saya sebutkan karena cukup menambah kerut di kening saya) yang telah terpilih untuk membantu sesamanya. Tuhan tahu, saya mampu, hehehe…

Aku merenungkan banyak hal tentang hidup. Khususnya hidupku sendiri. Inilah yang dinamakan refleksi. Ketika usiaku tak lagi muda (sweet seventeenku telah lama lewat), aku merasa bertambah dewasa. Karena hari-hari terakhir ini, terlalu banyak tragedi yang membuatku sadar sepenuhnya. Aku tak pernah hidup sendiri.

Dimulai ketika aku melakukan sebuah perjalanan yang tak biasa, kugunakan waktu dalam perjalanan itu untuk membaca realitas. Ada begitu banyak hal yang membuatku terkejut. Perempuan di negeriku ini melakukan tugas yang memang tidak seharusnya dia lakukan. Ketika gaung-gaung kesetaraan Gender bergema diseluruh negeri, inikah hasilnya?

Radio usang di atas meja kayu berukir naga itu masih menyanyikan gendhing yang sama.Walaupun suara radio itu tak lagi mengeluarkan suara yang merdu, eyang putri masih saja mengikuti gendhing sumbang itu sambil sesekali ikut nembang. Seakan sebuah doa, eyang putri terlihat khusyuk memejamkan mata.

"Nenggoh jero ning tamansari...
Duh, kusuma endahe ing Mataram...
Tuhu sulistya warnane, luwes kewes pindha hapsari...
Bisa temen gawe brangta, weh kekidungan asmara,
Sajagad datanpa sami,
karya tentreming jiwangga..."

Biasanya, setelah gendhing itu selesai, eyang putri akan merengkuh kepalaku dalam pelukannya. Kemudian dengan sayang mengelus-elus kepalaku sembari berkisah tentang Dewi Drupadi, salah seorang tokoh perempuan perwayangan yang melegenda,
"Tahukah engkau cucuku? Semenjak menolong Sri Kresna yang terluka, Dewi Drupadi menjadi kesayangan para Dewa. Kehormatannya adalah kehormatan Sri Kresna. Sehingga Dursasana pun tak sanggup melepas kain Dewi Drupadi hingga terlepas..." Eyang putri mencium keningku. "Jadilah seperti Dewi Drupadi, cucuku... yang kecantikannya membuat Dursasana takluk, yang sangat setia pada para Pandawa hingga akhir hayatnya dan yang mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya... Jadilah setegar Dewi Drupadi, maka kebahagiaan akan selalu menyelimuti kehidupanmu..." aku pun dengan penghayatan yang dalam mendengarkan kisah yang berulang kali diceritakan eyang putri itu. Tak lama kemudian, aku jatuh tertidur di pangkuan eyang putri. Lamat-lamat kudengar suara eyang putri menembangkan gendhing yang di putar radio.

"Nenggoh jero ning tamansari...
Duh, kusuma endahe ing Mataram...
Tuhu sulistya warnane, luwes kewes pindha hapsari..."

Bisa kulihat para putri itu tengah berkumpul dan bersenda gurau di Keputren Mataram. Aku tak mampu melihat bayangan mereka dengan jelas, namun aku yakin mereka semua sangat cantik. Tiba-tiba bayangan para putri itu memudar di telan kabut tebal. Aku tak bisa melihat sekelilingku. Pandanganku mengabur. Beberapa saat kemudian, kabut mulai menipis. Kulihat sesosok bayangan sedang berdiri di Keputren. Menatap lembut ke arahku. Aku membisu hingga akhirnya sosok itu mendekat ke arahku. Bayangannya mulai terlihat jelas.
Aku tersentak!
Putri inilah yang selalu menjadi pengantar tidurku!
Teladan eyang putri,
Dewi Drupadi!
Aku benar-benar terpaku. Duh, Gusti...betapa cepatnya Dewi Drupadi menyambangi aku. Kulihat sekelilingku. Tak ada eyang putri! Aku harus bicara apa? Dewi Drupadi tersenyum padaku. Bibirku bergetar. Kehilangan kata. Aku seperti tersirep pesonanya.
Aku terbangun. Peluh mengalir di dahiku. Hanya mimpi. Mimpi yang sama selama beberapa bulan ini. Mimpi masa kecil yang tiba-tiba kembali hadir.
Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil air dan meminumnya. Samar kudengar suara eyang putri menyanyikan sesuatu. Gendhing itu lagi! Seperti sebuah ritual wajib, eyang putri tak pernah berhenti menyanyikannya.
Eyang putri tak pernah berubah. Sejak kecil aku selalu mendengar gendhing yang sama, kisah Drupadi yang menjadi dongeng pengantar tidur, hingga akhirnya aku akan bermimpi tentang para putri Keraton Mataram dan bertemu dengan Drupadi. Eyang putri masih saja ingin aku menjadi Drupadi. Hingga kini, saat umurku hampir seperempat abad, semangat eyang putri mendiktekan Drupadi pada keseharianku tak pernah renta.
"Tahukah engkau cucuku? Semenjak menolong Sri Kresna yang terluka, Dewi Drupadi menjadi kesayangan para Dewa. Kehormatannya adalah kehormatan Sri Kresna. Sehingga Dursasana pun tak sanggup melepas kain Dewi Drupadi hingga terlepas..." Eyang putri mencium keningku, seperti yang sudah-sudah. "Jadilah seperti Dewi Drupadi, cucuku... yang kecantikannya membuat Dursasana takluk, yang sangat setia pada para Pandawa hingga akhir hayatnya dan yang mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya... Jadilah setegar Dewi Drupadi, maka kebahagiaan akan selalu menyelimuti kehidupanmu..." aku pun dengan penghayatan yang dalam mendengarkan, namun tak tertidur. Saat itu aku baru menginjak bangku SMA. Dan Eyang Putri menambahkan ucapannya, "...yang berjodoh dengan para Pandawa. Kelak, jika saatnya tiba, menikahlah hanya dengan orang yang njawani dan berdarah biru seperti kita..."
Dulu mungkin aku juga menjadikan Drupadi sebagai dogma kehidupan. Namun, ketika aku beranjak dewasa, bayangan Drupadi hilang dalam anganku. Aku mulai sadar. Aku bukanlah Drupadi. Dan takkan pernah menjadi seorang Drupadi. Aku pun tak pernah lagi mengikuti 'ritual' eyang putri. Tak lagi menemani beliau mendengarkan radio dan menyimak kisahnya tentang Drupadi. Aku jenuh.
Tak bisa dipungkiri, ada jurang kasat mata antara aku dan eyang putri. Hubungan kami tak sehangat dulu, ketika aku dan beliau masih sama-sama mengidolakan Drupadi. Tapi, ini hanya masalah waktu. Lambat laun, eyang putri harus sadar. Aku tak bisa menjadi seorang Drupadi seperti harapannya.
Aku tak mungkin menikahi lima orang lelaki sekaligus. Seperti Drupadi yang menikahi para Pandawa. Aku juga tak ingin menikah dengan orang yang berdarah biru. Menikah dengan darah biru berarti menikahi kerabatku sendiri. Jalan hidupku jelas berbeda dengan jalan hidup Drupadi. Drupadi hidup di dunia perwayangan, sedangkan aku? Aku hidup di dunia yang sesungguhnya. Tanpa ada Pandawa, Kurawa, Buto Cakil, dan sebangsanya.
"Kita adalah orang Jawa. Dan orang Jawa itu harus Njawani. Wayang bukanlah sekedar wayang. Tapi, itu adalah nafas kita, hidup kita." ucap eyang putri suatu hari. Aku memahaminya sebagai sebuah peringatan, bahwa aku takkan pernah bisa lepas dari angan-angan eyang putri.
Keluarga besarku masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Kesultanan Ngayogyakarta. Jadi, sangatlah wajar jika keseharian kami terlalu Jawa. Eyang kakung almarhum dulu begitu membanggakan darah biru yang mengalir dalam tubuh kami.
"Darah biru harus menikah dengan darah biru!" murka eyang kakung, ketika mengetahui bahwa calon suami Arimbi, sepupuku, bukanlah golongan darah biru. Arimbi yang penurut setuju saja, ketika diminta memutuskan untuk tidak menikah dengan lelaki pilihannya. Sebagai gantinya, eyang putri mencarikan 'Arjuna' lain untuk Arimbi.
Apa yang terjadi pada Arimbi, berlaku juga padaku. Di saat aku memutuskan menikah dengan lelaki pilihan, keluarga besar yang dipimpin langsung oleh eyang putri menolak mentah-mentah calon yang kuajukan. Calon suamiku bukanlah darah biru. Calon suamiku berasal dari keluarga pesantren di Jawa Timur. Tapi, aku bukanlah Arimbi yang penurut. Aku akan tetap menikah dengan Ahmad, calon suamiku.
"Drupadi... ada tamu untukmu..." Arimbi memanggil namaku dan kembali menyadarkanku dari lamunan. Kulihat Arimbi berdiri di ambang pintu sambil menggendong anak lelakinya yang baru berumur setahun.
"Siapa?" tanyaku sambil bersiap-siap menemui tamuku.
"Lanang..."
Tanganku berhenti bergerak. Kutatap Arimbi yang kini berjalan mendekat ke arahku.
"Kata eyang putri, kamu ndak boleh pake penutup kepala itu kalau menemui Lanang." ujar Arimbi. Aku menatap cermin. Kuteruskan langkahku menyampirkan kain untuk menutupi rambutku.
"Di, jaga perasaan eyang putri, juga Lanang. Jangan bikin eyang putri duka. Kasihan, Di... Eyang putri udah sepuh." kata Arimbi, lagi.
"Ndak bisa, Bi. Aku juga ndak mungkin ketemu sama Lanang yang bukan muhrimku tanpa menutup aurat begini..." akhirnya aku berkata. Arimbi menyuruh rewang yang lewat untuk menggendong anaknya yang mulai rewel.
"Sejak ketemu sama Ahmad kamu mulai berubah, Di. Pake penutup kepala begini, rajin ke masjid, jarang ke sanggar. Kamu bener-bener berubah. Sekarang kamu jadi omongan di keluarga besar. Katanya kamu yang mulai tidak menghormati tradisi leluhur, membangkang..."
"Arimbi, setiap manusia harus mengalami proses perubahan dalam hidupnya..." kupotong ucapan sepupuku itu. "...kehidupan kita tak mungkin sama selamanya. Pasti dan harus ada yang berubah. Pertemuanku dengan Ahmad adalah penanda bahwa aku harus berubah." Arimbi menatapku diam.
"Kamu benar-benar Drupadi..."
"Kamu juga benar-benar Arimbi..." aku dan Arimbi tersenyum.
"Temui Lanang dan bicaralah yang baik. Jika ndak suka, jangan terang-terangan bilang ndak suka. Nanti ada eyang putri yang nemenin, jadi bicaranya yang ati-ati." Aku tersenyum. "Inggih Ndoro Putri..."
Lanang adalah teman masa kecilku. Sama seperti aku, Lanang juga mewarisi darah biru dari leluhurnya. Eyang putri sudah menganggap Lanang seperti cucu kandungnya sendiri. Ketika kami sama-sama dewasa, eyang putri memiliki niatan menjodohkan aku dan Lanang. Tapi, aku tak mungkin menikah dengan Lanang yang sudah seperti kakak bagiku. Sebagai semata wayang, aku juga ingin merasakan memiliki kakak dan adik. Dan Lanang sudah seperti kakakku.
Aku menemui Lanang yang asyik berbincang-bincang dengan eyang putri. Dengan kalem aku duduk di sebelah eyang putri, tepat di hadapan Lanang. Lanang tersenyum melihat kehadiranku. Sesaat suasana menjadi hening. Baik aku maupun Lanang tak ingin membuka pembicaraan. Eyang putri gemas melihat kecanggungan kami.
"Nang, sepertinya Drupadi sudah ingin cepat-cepat menikah. Kapan kamu bawa orang tuamu kemari?" tanpa tedheng aling-aling, eyang putri menanyakan lamaran Lanang untukku. Lanang terdiam lama sambil menatapku. Aku juga diam, benar-benar kehilangan kata. Tampaknya, kedatangan Ahmad dan keluarganya beberapa waktu lalu membuat eyang putri cepat-cepat mengambil tindakan. Aku menatap Lanang yang masih menatapku. Lelaki itu kemudian tersenyum.
"Lanang ndak mungkinlah nikah sama Drupadi yang udah kayak adik sendiri. Ntar rasanya kayak ngemong adik, bukan ngemong istri..." jawab Lanang sembari tertawa. "...kalau Drupadi mau cepet-cepet nikah, nikah aja sama calonnya," tambah Lanang. Eyang putri melirikku tajam.
Duh, Gusti... lelakon apalagi yang harus aku mainkan?
"Iya... tapi, itu pilihan Drupadi. Eyang ndak suka." jawab eyang putri. Aku dan Lanang bersitatap. Dari matanya, Lanang mengisyaratkan agar aku juga angkat bicara.
"Yang mau menikah itu Drupadi, eyang. Beri dia kebebasan untuk memilih calon pendampingnya sendiri..." ujar Lanang. Eyang putri menunjukkan raut muka tidak senang saat mendengar ucapan Lanang.
"Eyang cuma mau yang terbaik untuk Drupadi dan keluarga ini! Eyang ndak kersa kalau ada golongan yang bukan darah biru menjadi bagian dari keluarga ini! Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting yang harus terus dijaga!" suara Eyang mulai meninggi. Arimbi berjalan tergopoh-gopoh mendekati kami. Mungkin suara eyang yang meninggi membuatnya khawatir.
"Tak pernah ada ceritanya keluarga kita menikah dengan orang selain bangsawan! Bersikaplah seperti Arimbi! Terima keputusan ini dengan besar hati! Lanang bicara begitu mungkin karena merasa ndak punya harapan lagi sama kamu yang ngotot ingin nikah sama orang Jawa Timur itu!" eyang putri marah besar. Hilang sudah keanggunan beliau. Aku teringat akan sesuatu.
"Tapi, aku Drupadi, eyang... Bukan Arimbi. Drupadi tak memiliki hati sebesar Arimbi. Drupadi keras kepala, teguh, juga sangat menjunjung harga diri. Biarkan aku menjadi seorang Drupadi yang lain eyang. Bukan Drupadi yang dijadikan barang taruhan, bukan Drupadi yang dilecehkan oleh Dursasana, biarkan aku menjadi seperti air eyang, yang menentukan jalannya sendiri walau dihalangi oleh batu..."
"Calon suamiku adalah orang Jawa. Dia orang Jawa yang Njawani. Kata eyang, orang Jawa itu harus Njawani. Itu yang Drupadi lihat pada diri Ahmad. Dia seperti kita eyang, yang menjalani Lelakon Jawa dalam hidupnya. Dia bukanlah orang yang kolot. Ahmad mentoleransi segala hal. Dia tak pernah mengecam tradisi kita. Ruwatan, suroan, sekaten, padusan pun dilakoninya. Meski dia dari Pesantren, Ahmad memiki cara tersendiri dalam menyampaikan ajarannya. Seperti para walisongo yang diteladaninya. Ahmad memahami kultur masyarakat kita..."
"Ahmad mengadakan pengajian yang disampaikan lewat wayang! Dia berdakwah dengan gamelan kesukaan kita, dia mampu berbaur dengan kita tanpa kita harus meninggalkan tradisi kita... Menikah dengan Ahmad tidak akan merusak kehormatan dan menginjak harga diri kita, eyang... Selamanya, kita akan tetap memiliki kehormatan dan harga diri itu..."
"Saatnya kita berubah, eyang. Apa kita akan terus begini? Mendiskriminasikan orang-orang disekitar kita? Darah biru bukanlah jaminan kehormatan kita. Tak selamanya darah kita akan terus biru."
Semuanya terdiam.
"Ahmad juga mengagumi Dewi Drupadi... Dan dia jatuh cinta pada sosoknya..." tandasku sambil tersenyum.
Pandanganku tertuju pada langit yang biru. Kulihat masa kecilku dalam pangkuan eyang putri...
"Tahukah engkau cucuku? Semenjak menolong Sri Kresna yang terluka, Dewi Drupadi menjadi kesayangan para Dewa. Kehormatannya adalah kehormatan Sri Kresna. Sehingga Dursasana pun tak sanggup melepas kain Dewi Drupadi hingga terlepas..." Eyang putri mencium keningku. "Jadilah seperti Dewi Drupadi, cucuku... yang kecantikannya membuat Dursasana takluk, yang sangat setia pada para Pandawa hingga akhir hayatnya dan yang mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya... Jadilah setegar Dewi Drupadi, maka kebahagiaan akan selalu menyelimuti kehidupanmu..."
Jika eyang ingin agar aku menjadi seperti Dewi Drupadi, inilah aku...
Seorang Drupadi baru yang menggunakan penutup kepala, akan menikah dengan seorang lelaki yang bukan darah biru, bukan pula seperti pendawa, melainkan lelaki yang siap menjadi pendawa.

Sastra layaknya samudera,
Yang menenggelamkan aku dalam kata-kata...
Lukisan merefleksikan diriku seutuhnya,
Membuatku cinta...
Musik memanjakan aku,
Mengelus lembut permukaan jiwaku...

Indah itu palsu!

Buruk itu kenyataan!

Haruskah topeng negeri ini tersingkap memperlihatkan ulat dan koreng yang menggeliat menawarkan diri untuk dicumbu?

Cuuih…!!!

Hina dinanya!

Uweekss…!!!

Muntahku muncrat!

Dusta yang tak bertepi.

Malu…

Atau memangkah malu itu masih ada?

Selepas SMA, saya meneruskan studi di Kota Gudeg. Dulu,-dalam bayangan sekalipun-, saya tak pernah berfikir untuk studi di kota manapun di Indonesia! Sejak SMP, sudah terpatri dalam angan saya, saya harus studi DI LUAR NEGERI! Dan negara yang beruntung itu adalah MESIR! Dan keinginan itu telah saya utarakan pada orang tua.

Mengapa Mesir?

Dari dulu saya memang tidak suka pada hal yang biasa. Dan studi ke Amerika atau Eropa biasa saja menurut saya dan telah dilakukan oleh banyak orang di lingkungan saya. Tapi, bukan berarti saya benar-benar tidak ada niat untuk ke Eropa, saya juga berniat untuk mengambil studi S2 saya di PERANCIS! Tentu setelah S1 saya selesai di Mesir.

Mesir terlalu indah jika hanya untuk di bayangkan. Dan saya telah banyak mendengar cerita tentang Negeri Pyramid itu. Amazing dan EKSOTIS! (Untuk kata terakhir, entah bagaimana saya bisa begitu terobsesi dengan kata itu. Mungkin karena ada banyak orang yang mengatakan wajah saya eksotis. Terlalu Indonesia. Thanks God!)

Andaikan jadi studi disana pun, saya juga nggak mau kuliah di Al-Azhar University. Terlalu biasa, terlalu banyak orang Indonesia, dan nggak ada jurusan komunikasi. Dan hal-hal yang biasa membuat saya cepat bosan. Saya ingin ke Cairo University. Banyak tantangan untuk bersaing dengan orang lokal. Walaupun hanya dalam angan (dan sama sekali nggak kesampean), saya sudah sangat bersyukur telah berkhayal menjadi salah satu mahasiswa perantauan yang tinggal di Mesir. Dan salah satu khayalan itu adalah menikah dengan salah seorang mahasiswa Al-Azhar yang terkenal hafal Quran (yang ini sumpah! Inspired by Ayat-Ayat Cinta!).

Mengapa Perancis?

Awalnya, saya berkeinginan untuk studi S1 atau S2 di Inggris saja. Siapa tahu ketemu Pangeran William dan diajak menikah! (khayalan tingkat tinggi, hehehe), tapi setelah dipikir-pikir, Inggris terlalu biasa buat saya, bahasa yang di gunakan juga teuteup bahasa Inggris (hal ini wajar, mengingat saya bukanlah manusia yang menyukai kebiasaan). So, palu diketok dan keputusan telah keluar. Kenapa nggak ke Perancis aja? Deket dari mana-mana (?), bahasa juga susah bangedz ngomongnya (yang kuingat cuma Je’t aime ), dan Nicholas Sarkozy yang cakep bangedz! (Presiden paling sexy di seluruh dunia!).

Suatu ketika, bapak saya pernah mendengar keinginan saya untuk studi ke luar negeri. Beliau bertanya, “Kenapa nggak ke Australia aja? Kan, lebih deket sama Indonesia…” kata saya waktu itu, “Justru karena terlalu deket itu! Lagian stay disana sama aja kayak tinggal di Indonesia. Ada Es Teler 77-nya,” (???)

Kok Jogja???

Aaaarrrrgghhh………. Rasa frustasi sebenarnya sudah sampai ubun-ubun! Kenapa GUE nyasar ke JOGJA???!!! Apalagi semenjak di tolak salah satu Universitas bergengsi di Indonesia membuat saya semakin gila. Pada akhirnya, saya terdampar di salah satu Universitas yang memang nggak jelas statusnya. Dibilang Universitas Islam kurang bener, universitas umum apalagi…

Semenjak SMA, impian untuk studi ke Mesir sirna. Krisis juga merambat ke usaha orang tua. Daripada malah merepotkan (berhubung juga nggak dapet beasiswa), jadilah putar haluan ke Jogja. Lagian, apa salahnya? Jogja juga Kota Budaya (alasan terakhir baru muncul ketika saya mulai tertarik pada masalah sosial dan kebudayaan). Whatever-lah, walaupun nggak kemana-mana (Mesir), yang penting saya sudah sampai mana-mana. Tak ada Mesir, Jogja pun jadi…