TERLARANG

Kala itu, sang Biduan tengah terduduk

Tampak sepi.

Bahkan sunyi…

Adakalanya mata pemuda itu tengah menatap

Mencuri.

Sarat akan kerinduan…

Sunyi seakan tarian

Kidung pun mendung

Lalu,

“Cinta itu adalah sunyi diantara kita…”

Kata pemuda

“Tak kuanggap diam adalah sunyi. Karena masih ada suara diantara kita.”

Jawab Biduan

Dan memang,

Rintik hujan menjadi pengiring episode terlarang mereka

HUJAN

Hujan tak kunjung reda

Seakan ingin menyelimuti mereka

Yang sedang duduk disana

Di bawah pohon palem,

Di antara kemelut rasa,

Biduan itu,

Pemuda itu,

Bersitatap.

Memompa energi rasa

Hingga memenuhi setiap kekosongan

Pada akhirnya,

Hangatnya hujan menjadi milik mereka…

“Andaikan bumi ini hancur, Langit ini runtuh,

Cinta ini takkan seperti bumi dan langit…”

Kata Pemuda.

“Ah, ironi selalu ada. Harapan pun tak jarang menjadi penghalang.”

Jawab Biduan.

Pemuda mendesah.

Berat.

Dalam.

“Mengapa cinta itu menyakitkan seperti ini?”

Risau Pemuda.

Biduan itu memejamkan mata.

“Cinta itu tidak menyakiti kita. Tapi, keadaanlah yang membuat sakit.”

Pohon palem dan rintik hujan

Masih setia menaungi mereka.

EPILOG KERINDUAN

Gerimis yang sama

Situasi yang sama

Tak ada yang berubah.

Tetap Biduan itu,

Tetap Pemuda itu.

Cinta pun, masih seperti itu

Jika kerinduan itu adalah nyata

Maka, mereka tentu akan bersuka cita

Hanya saja,

Cinta dan rindu itu absurd adanya

Dan kelelahan pun menghampiri mereka

Denpasar, 23 September 2008

0 komentar:

Posting Komentar