Beberapa malam terakhir ini aku selalu bermimpi tentang masa kecilku. Entah itu berkisah tentang indahnya atau sesuatu yg tak ingin aku kenang lagi.
Aku seperti terbangun pada sebuah kesadaran yang selama ini tersembunyi dari rutinitasku yang memang menyita waktu. Tuhan sepertinya ingin aku mengingat itu. Ingin aku mengenang kembali. Tak ingin aku serta merta lupa.
Mimpi-mimpiku seperti siluet indah namun mencekam. Melemparkan aku pada masa kecil yang nyaris tak ku ingat. Hmm...
Mimpiku begitu lengkap berkisah tentang aku. Tentang kenakalanku. Tentang impian-impian manisku. Aku tak ingat. Tapi, ternyata alam bawah sadarku begitu ingat.
..........
Saat itu aku berumur 4 tahun dan Bunda telah menyuruhku mengaji setiap sore di rumah seorang ustadz NU yang baru datang dari Jawa. Karena tergoda ajakan seorang teman, aku tak pernah mengaji. Setiap sore aku selalu nangkring di atas pohon cermai. Menyesap kecutnya yang kusuka. Hingga kini pun, Bunda tak tahu tentang itu.
Umurku 6 tahun, tapi aku sudah hafal surat-surat pendek. Walau sedikit. Bunda bangga sekali padaku. Dengan senang, diajaknya aku nyekar ke makam mbah putri dan mbah kakung di Cepu. Padahal, sepupu-sepupuku yang lain tak pernah di ajak orang tuanya. Konon, makam mbah kakung itu angker. Namun kata Ayah, yang namanya cucu, tak mungkin disakiti. Jadilah hari itu aku nyekar ke makam mbah kakung dan mbah putri.
Sejak kecil aku tak suka tinggal diam di rumah. Aku suka melakukan aktifitas di luar rumah. Bermain dari pagi hingga malam tanpa pulang aku sanggup. Biasanya, Mbak Min, pengasuhku, akan pontang-panting mencariku kesana-kemari.
Jika hari libur, Ayah akan mengajakku ikut bermain layangan bersama anak-anak tetanggaku di lapangan depan rumah. Ayah tak pernah berfikir bahwa layangan hanyalah mainan untuk anak laki-laki. Biasanya Bunda yang melarangku ikut. Bunda tipe ibu-ibu cerewet yang terlalu khawatir dengan anak-anaknya.
Anak-anak kecil seusiaku tak banyak saat itu. Meski tak banyak, aku sudah lupa nama mereka satu-persatu. Bahkan teman sebangkuku ketika SD pun aku tak ingat. Waktu memang telah banyak merubahku. Lapangan depan rumah juga sudah tidak ada lagi. Berganti dengan rumah mewah berderet-deret (yg dibangun Ayah).
..........
Aku tak ingat jelas masa kecilku. Yang kuingat, aku banyak menelan kekecewaan atas musnahnya mimpi-mimpi yang aku rajut saat itu.

bersambung...

Wednesday, July 08th 2009.

0 komentar:

Posting Komentar