Radio usang di atas meja kayu berukir naga itu masih menyanyikan gendhing yang sama.Walaupun suara radio itu tak lagi mengeluarkan suara yang merdu, eyang putri masih saja mengikuti gendhing sumbang itu sambil sesekali ikut nembang. Seakan sebuah doa, eyang putri terlihat khusyuk memejamkan mata.

"Nenggoh jero ning tamansari...
Duh, kusuma endahe ing Mataram...
Tuhu sulistya warnane, luwes kewes pindha hapsari...
Bisa temen gawe brangta, weh kekidungan asmara,
Sajagad datanpa sami,
karya tentreming jiwangga..."

Biasanya, setelah gendhing itu selesai, eyang putri akan merengkuh kepalaku dalam pelukannya. Kemudian dengan sayang mengelus-elus kepalaku sembari berkisah tentang Dewi Drupadi, salah seorang tokoh perempuan perwayangan yang melegenda,
"Tahukah engkau cucuku? Semenjak menolong Sri Kresna yang terluka, Dewi Drupadi menjadi kesayangan para Dewa. Kehormatannya adalah kehormatan Sri Kresna. Sehingga Dursasana pun tak sanggup melepas kain Dewi Drupadi hingga terlepas..." Eyang putri mencium keningku. "Jadilah seperti Dewi Drupadi, cucuku... yang kecantikannya membuat Dursasana takluk, yang sangat setia pada para Pandawa hingga akhir hayatnya dan yang mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya... Jadilah setegar Dewi Drupadi, maka kebahagiaan akan selalu menyelimuti kehidupanmu..." aku pun dengan penghayatan yang dalam mendengarkan kisah yang berulang kali diceritakan eyang putri itu. Tak lama kemudian, aku jatuh tertidur di pangkuan eyang putri. Lamat-lamat kudengar suara eyang putri menembangkan gendhing yang di putar radio.

"Nenggoh jero ning tamansari...
Duh, kusuma endahe ing Mataram...
Tuhu sulistya warnane, luwes kewes pindha hapsari..."

Bisa kulihat para putri itu tengah berkumpul dan bersenda gurau di Keputren Mataram. Aku tak mampu melihat bayangan mereka dengan jelas, namun aku yakin mereka semua sangat cantik. Tiba-tiba bayangan para putri itu memudar di telan kabut tebal. Aku tak bisa melihat sekelilingku. Pandanganku mengabur. Beberapa saat kemudian, kabut mulai menipis. Kulihat sesosok bayangan sedang berdiri di Keputren. Menatap lembut ke arahku. Aku membisu hingga akhirnya sosok itu mendekat ke arahku. Bayangannya mulai terlihat jelas.
Aku tersentak!
Putri inilah yang selalu menjadi pengantar tidurku!
Teladan eyang putri,
Dewi Drupadi!
Aku benar-benar terpaku. Duh, Gusti...betapa cepatnya Dewi Drupadi menyambangi aku. Kulihat sekelilingku. Tak ada eyang putri! Aku harus bicara apa? Dewi Drupadi tersenyum padaku. Bibirku bergetar. Kehilangan kata. Aku seperti tersirep pesonanya.
Aku terbangun. Peluh mengalir di dahiku. Hanya mimpi. Mimpi yang sama selama beberapa bulan ini. Mimpi masa kecil yang tiba-tiba kembali hadir.
Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil air dan meminumnya. Samar kudengar suara eyang putri menyanyikan sesuatu. Gendhing itu lagi! Seperti sebuah ritual wajib, eyang putri tak pernah berhenti menyanyikannya.
Eyang putri tak pernah berubah. Sejak kecil aku selalu mendengar gendhing yang sama, kisah Drupadi yang menjadi dongeng pengantar tidur, hingga akhirnya aku akan bermimpi tentang para putri Keraton Mataram dan bertemu dengan Drupadi. Eyang putri masih saja ingin aku menjadi Drupadi. Hingga kini, saat umurku hampir seperempat abad, semangat eyang putri mendiktekan Drupadi pada keseharianku tak pernah renta.
"Tahukah engkau cucuku? Semenjak menolong Sri Kresna yang terluka, Dewi Drupadi menjadi kesayangan para Dewa. Kehormatannya adalah kehormatan Sri Kresna. Sehingga Dursasana pun tak sanggup melepas kain Dewi Drupadi hingga terlepas..." Eyang putri mencium keningku, seperti yang sudah-sudah. "Jadilah seperti Dewi Drupadi, cucuku... yang kecantikannya membuat Dursasana takluk, yang sangat setia pada para Pandawa hingga akhir hayatnya dan yang mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya... Jadilah setegar Dewi Drupadi, maka kebahagiaan akan selalu menyelimuti kehidupanmu..." aku pun dengan penghayatan yang dalam mendengarkan, namun tak tertidur. Saat itu aku baru menginjak bangku SMA. Dan Eyang Putri menambahkan ucapannya, "...yang berjodoh dengan para Pandawa. Kelak, jika saatnya tiba, menikahlah hanya dengan orang yang njawani dan berdarah biru seperti kita..."
Dulu mungkin aku juga menjadikan Drupadi sebagai dogma kehidupan. Namun, ketika aku beranjak dewasa, bayangan Drupadi hilang dalam anganku. Aku mulai sadar. Aku bukanlah Drupadi. Dan takkan pernah menjadi seorang Drupadi. Aku pun tak pernah lagi mengikuti 'ritual' eyang putri. Tak lagi menemani beliau mendengarkan radio dan menyimak kisahnya tentang Drupadi. Aku jenuh.
Tak bisa dipungkiri, ada jurang kasat mata antara aku dan eyang putri. Hubungan kami tak sehangat dulu, ketika aku dan beliau masih sama-sama mengidolakan Drupadi. Tapi, ini hanya masalah waktu. Lambat laun, eyang putri harus sadar. Aku tak bisa menjadi seorang Drupadi seperti harapannya.
Aku tak mungkin menikahi lima orang lelaki sekaligus. Seperti Drupadi yang menikahi para Pandawa. Aku juga tak ingin menikah dengan orang yang berdarah biru. Menikah dengan darah biru berarti menikahi kerabatku sendiri. Jalan hidupku jelas berbeda dengan jalan hidup Drupadi. Drupadi hidup di dunia perwayangan, sedangkan aku? Aku hidup di dunia yang sesungguhnya. Tanpa ada Pandawa, Kurawa, Buto Cakil, dan sebangsanya.
"Kita adalah orang Jawa. Dan orang Jawa itu harus Njawani. Wayang bukanlah sekedar wayang. Tapi, itu adalah nafas kita, hidup kita." ucap eyang putri suatu hari. Aku memahaminya sebagai sebuah peringatan, bahwa aku takkan pernah bisa lepas dari angan-angan eyang putri.
Keluarga besarku masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Kesultanan Ngayogyakarta. Jadi, sangatlah wajar jika keseharian kami terlalu Jawa. Eyang kakung almarhum dulu begitu membanggakan darah biru yang mengalir dalam tubuh kami.
"Darah biru harus menikah dengan darah biru!" murka eyang kakung, ketika mengetahui bahwa calon suami Arimbi, sepupuku, bukanlah golongan darah biru. Arimbi yang penurut setuju saja, ketika diminta memutuskan untuk tidak menikah dengan lelaki pilihannya. Sebagai gantinya, eyang putri mencarikan 'Arjuna' lain untuk Arimbi.
Apa yang terjadi pada Arimbi, berlaku juga padaku. Di saat aku memutuskan menikah dengan lelaki pilihan, keluarga besar yang dipimpin langsung oleh eyang putri menolak mentah-mentah calon yang kuajukan. Calon suamiku bukanlah darah biru. Calon suamiku berasal dari keluarga pesantren di Jawa Timur. Tapi, aku bukanlah Arimbi yang penurut. Aku akan tetap menikah dengan Ahmad, calon suamiku.
"Drupadi... ada tamu untukmu..." Arimbi memanggil namaku dan kembali menyadarkanku dari lamunan. Kulihat Arimbi berdiri di ambang pintu sambil menggendong anak lelakinya yang baru berumur setahun.
"Siapa?" tanyaku sambil bersiap-siap menemui tamuku.
"Lanang..."
Tanganku berhenti bergerak. Kutatap Arimbi yang kini berjalan mendekat ke arahku.
"Kata eyang putri, kamu ndak boleh pake penutup kepala itu kalau menemui Lanang." ujar Arimbi. Aku menatap cermin. Kuteruskan langkahku menyampirkan kain untuk menutupi rambutku.
"Di, jaga perasaan eyang putri, juga Lanang. Jangan bikin eyang putri duka. Kasihan, Di... Eyang putri udah sepuh." kata Arimbi, lagi.
"Ndak bisa, Bi. Aku juga ndak mungkin ketemu sama Lanang yang bukan muhrimku tanpa menutup aurat begini..." akhirnya aku berkata. Arimbi menyuruh rewang yang lewat untuk menggendong anaknya yang mulai rewel.
"Sejak ketemu sama Ahmad kamu mulai berubah, Di. Pake penutup kepala begini, rajin ke masjid, jarang ke sanggar. Kamu bener-bener berubah. Sekarang kamu jadi omongan di keluarga besar. Katanya kamu yang mulai tidak menghormati tradisi leluhur, membangkang..."
"Arimbi, setiap manusia harus mengalami proses perubahan dalam hidupnya..." kupotong ucapan sepupuku itu. "...kehidupan kita tak mungkin sama selamanya. Pasti dan harus ada yang berubah. Pertemuanku dengan Ahmad adalah penanda bahwa aku harus berubah." Arimbi menatapku diam.
"Kamu benar-benar Drupadi..."
"Kamu juga benar-benar Arimbi..." aku dan Arimbi tersenyum.
"Temui Lanang dan bicaralah yang baik. Jika ndak suka, jangan terang-terangan bilang ndak suka. Nanti ada eyang putri yang nemenin, jadi bicaranya yang ati-ati." Aku tersenyum. "Inggih Ndoro Putri..."
Lanang adalah teman masa kecilku. Sama seperti aku, Lanang juga mewarisi darah biru dari leluhurnya. Eyang putri sudah menganggap Lanang seperti cucu kandungnya sendiri. Ketika kami sama-sama dewasa, eyang putri memiliki niatan menjodohkan aku dan Lanang. Tapi, aku tak mungkin menikah dengan Lanang yang sudah seperti kakak bagiku. Sebagai semata wayang, aku juga ingin merasakan memiliki kakak dan adik. Dan Lanang sudah seperti kakakku.
Aku menemui Lanang yang asyik berbincang-bincang dengan eyang putri. Dengan kalem aku duduk di sebelah eyang putri, tepat di hadapan Lanang. Lanang tersenyum melihat kehadiranku. Sesaat suasana menjadi hening. Baik aku maupun Lanang tak ingin membuka pembicaraan. Eyang putri gemas melihat kecanggungan kami.
"Nang, sepertinya Drupadi sudah ingin cepat-cepat menikah. Kapan kamu bawa orang tuamu kemari?" tanpa tedheng aling-aling, eyang putri menanyakan lamaran Lanang untukku. Lanang terdiam lama sambil menatapku. Aku juga diam, benar-benar kehilangan kata. Tampaknya, kedatangan Ahmad dan keluarganya beberapa waktu lalu membuat eyang putri cepat-cepat mengambil tindakan. Aku menatap Lanang yang masih menatapku. Lelaki itu kemudian tersenyum.
"Lanang ndak mungkinlah nikah sama Drupadi yang udah kayak adik sendiri. Ntar rasanya kayak ngemong adik, bukan ngemong istri..." jawab Lanang sembari tertawa. "...kalau Drupadi mau cepet-cepet nikah, nikah aja sama calonnya," tambah Lanang. Eyang putri melirikku tajam.
Duh, Gusti... lelakon apalagi yang harus aku mainkan?
"Iya... tapi, itu pilihan Drupadi. Eyang ndak suka." jawab eyang putri. Aku dan Lanang bersitatap. Dari matanya, Lanang mengisyaratkan agar aku juga angkat bicara.
"Yang mau menikah itu Drupadi, eyang. Beri dia kebebasan untuk memilih calon pendampingnya sendiri..." ujar Lanang. Eyang putri menunjukkan raut muka tidak senang saat mendengar ucapan Lanang.
"Eyang cuma mau yang terbaik untuk Drupadi dan keluarga ini! Eyang ndak kersa kalau ada golongan yang bukan darah biru menjadi bagian dari keluarga ini! Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting yang harus terus dijaga!" suara Eyang mulai meninggi. Arimbi berjalan tergopoh-gopoh mendekati kami. Mungkin suara eyang yang meninggi membuatnya khawatir.
"Tak pernah ada ceritanya keluarga kita menikah dengan orang selain bangsawan! Bersikaplah seperti Arimbi! Terima keputusan ini dengan besar hati! Lanang bicara begitu mungkin karena merasa ndak punya harapan lagi sama kamu yang ngotot ingin nikah sama orang Jawa Timur itu!" eyang putri marah besar. Hilang sudah keanggunan beliau. Aku teringat akan sesuatu.
"Tapi, aku Drupadi, eyang... Bukan Arimbi. Drupadi tak memiliki hati sebesar Arimbi. Drupadi keras kepala, teguh, juga sangat menjunjung harga diri. Biarkan aku menjadi seorang Drupadi yang lain eyang. Bukan Drupadi yang dijadikan barang taruhan, bukan Drupadi yang dilecehkan oleh Dursasana, biarkan aku menjadi seperti air eyang, yang menentukan jalannya sendiri walau dihalangi oleh batu..."
"Calon suamiku adalah orang Jawa. Dia orang Jawa yang Njawani. Kata eyang, orang Jawa itu harus Njawani. Itu yang Drupadi lihat pada diri Ahmad. Dia seperti kita eyang, yang menjalani Lelakon Jawa dalam hidupnya. Dia bukanlah orang yang kolot. Ahmad mentoleransi segala hal. Dia tak pernah mengecam tradisi kita. Ruwatan, suroan, sekaten, padusan pun dilakoninya. Meski dia dari Pesantren, Ahmad memiki cara tersendiri dalam menyampaikan ajarannya. Seperti para walisongo yang diteladaninya. Ahmad memahami kultur masyarakat kita..."
"Ahmad mengadakan pengajian yang disampaikan lewat wayang! Dia berdakwah dengan gamelan kesukaan kita, dia mampu berbaur dengan kita tanpa kita harus meninggalkan tradisi kita... Menikah dengan Ahmad tidak akan merusak kehormatan dan menginjak harga diri kita, eyang... Selamanya, kita akan tetap memiliki kehormatan dan harga diri itu..."
"Saatnya kita berubah, eyang. Apa kita akan terus begini? Mendiskriminasikan orang-orang disekitar kita? Darah biru bukanlah jaminan kehormatan kita. Tak selamanya darah kita akan terus biru."
Semuanya terdiam.
"Ahmad juga mengagumi Dewi Drupadi... Dan dia jatuh cinta pada sosoknya..." tandasku sambil tersenyum.
Pandanganku tertuju pada langit yang biru. Kulihat masa kecilku dalam pangkuan eyang putri...
"Tahukah engkau cucuku? Semenjak menolong Sri Kresna yang terluka, Dewi Drupadi menjadi kesayangan para Dewa. Kehormatannya adalah kehormatan Sri Kresna. Sehingga Dursasana pun tak sanggup melepas kain Dewi Drupadi hingga terlepas..." Eyang putri mencium keningku. "Jadilah seperti Dewi Drupadi, cucuku... yang kecantikannya membuat Dursasana takluk, yang sangat setia pada para Pandawa hingga akhir hayatnya dan yang mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya... Jadilah setegar Dewi Drupadi, maka kebahagiaan akan selalu menyelimuti kehidupanmu..."
Jika eyang ingin agar aku menjadi seperti Dewi Drupadi, inilah aku...
Seorang Drupadi baru yang menggunakan penutup kepala, akan menikah dengan seorang lelaki yang bukan darah biru, bukan pula seperti pendawa, melainkan lelaki yang siap menjadi pendawa.

Sastra layaknya samudera,
Yang menenggelamkan aku dalam kata-kata...
Lukisan merefleksikan diriku seutuhnya,
Membuatku cinta...
Musik memanjakan aku,
Mengelus lembut permukaan jiwaku...

Indah itu palsu!

Buruk itu kenyataan!

Haruskah topeng negeri ini tersingkap memperlihatkan ulat dan koreng yang menggeliat menawarkan diri untuk dicumbu?

Cuuih…!!!

Hina dinanya!

Uweekss…!!!

Muntahku muncrat!

Dusta yang tak bertepi.

Malu…

Atau memangkah malu itu masih ada?

Selepas SMA, saya meneruskan studi di Kota Gudeg. Dulu,-dalam bayangan sekalipun-, saya tak pernah berfikir untuk studi di kota manapun di Indonesia! Sejak SMP, sudah terpatri dalam angan saya, saya harus studi DI LUAR NEGERI! Dan negara yang beruntung itu adalah MESIR! Dan keinginan itu telah saya utarakan pada orang tua.

Mengapa Mesir?

Dari dulu saya memang tidak suka pada hal yang biasa. Dan studi ke Amerika atau Eropa biasa saja menurut saya dan telah dilakukan oleh banyak orang di lingkungan saya. Tapi, bukan berarti saya benar-benar tidak ada niat untuk ke Eropa, saya juga berniat untuk mengambil studi S2 saya di PERANCIS! Tentu setelah S1 saya selesai di Mesir.

Mesir terlalu indah jika hanya untuk di bayangkan. Dan saya telah banyak mendengar cerita tentang Negeri Pyramid itu. Amazing dan EKSOTIS! (Untuk kata terakhir, entah bagaimana saya bisa begitu terobsesi dengan kata itu. Mungkin karena ada banyak orang yang mengatakan wajah saya eksotis. Terlalu Indonesia. Thanks God!)

Andaikan jadi studi disana pun, saya juga nggak mau kuliah di Al-Azhar University. Terlalu biasa, terlalu banyak orang Indonesia, dan nggak ada jurusan komunikasi. Dan hal-hal yang biasa membuat saya cepat bosan. Saya ingin ke Cairo University. Banyak tantangan untuk bersaing dengan orang lokal. Walaupun hanya dalam angan (dan sama sekali nggak kesampean), saya sudah sangat bersyukur telah berkhayal menjadi salah satu mahasiswa perantauan yang tinggal di Mesir. Dan salah satu khayalan itu adalah menikah dengan salah seorang mahasiswa Al-Azhar yang terkenal hafal Quran (yang ini sumpah! Inspired by Ayat-Ayat Cinta!).

Mengapa Perancis?

Awalnya, saya berkeinginan untuk studi S1 atau S2 di Inggris saja. Siapa tahu ketemu Pangeran William dan diajak menikah! (khayalan tingkat tinggi, hehehe), tapi setelah dipikir-pikir, Inggris terlalu biasa buat saya, bahasa yang di gunakan juga teuteup bahasa Inggris (hal ini wajar, mengingat saya bukanlah manusia yang menyukai kebiasaan). So, palu diketok dan keputusan telah keluar. Kenapa nggak ke Perancis aja? Deket dari mana-mana (?), bahasa juga susah bangedz ngomongnya (yang kuingat cuma Je’t aime ), dan Nicholas Sarkozy yang cakep bangedz! (Presiden paling sexy di seluruh dunia!).

Suatu ketika, bapak saya pernah mendengar keinginan saya untuk studi ke luar negeri. Beliau bertanya, “Kenapa nggak ke Australia aja? Kan, lebih deket sama Indonesia…” kata saya waktu itu, “Justru karena terlalu deket itu! Lagian stay disana sama aja kayak tinggal di Indonesia. Ada Es Teler 77-nya,” (???)

Kok Jogja???

Aaaarrrrgghhh………. Rasa frustasi sebenarnya sudah sampai ubun-ubun! Kenapa GUE nyasar ke JOGJA???!!! Apalagi semenjak di tolak salah satu Universitas bergengsi di Indonesia membuat saya semakin gila. Pada akhirnya, saya terdampar di salah satu Universitas yang memang nggak jelas statusnya. Dibilang Universitas Islam kurang bener, universitas umum apalagi…

Semenjak SMA, impian untuk studi ke Mesir sirna. Krisis juga merambat ke usaha orang tua. Daripada malah merepotkan (berhubung juga nggak dapet beasiswa), jadilah putar haluan ke Jogja. Lagian, apa salahnya? Jogja juga Kota Budaya (alasan terakhir baru muncul ketika saya mulai tertarik pada masalah sosial dan kebudayaan). Whatever-lah, walaupun nggak kemana-mana (Mesir), yang penting saya sudah sampai mana-mana. Tak ada Mesir, Jogja pun jadi…