Ketika kau hilang dari garis pandangku
Dunia seakan ikut tertelan oleh lenyapmu
Aku yang hampa tak mampu berkata
Bahkan bersuara.

Lemahnya diriku tanpa eksistensimu dalam radar penglihatanku
Meski rapuh,
Tak kumiliki teluh

Jiwa dan hati yang mati ini tak lagi memiliki kata
Hingga syair pujian terhenti sampai disini.


Yogyakarta, 18 Maret 2009

Ketika aku jatuh cinta,

Kudapati euphoria dalam diriku manjadi gila.

Ketika aku merasa bahagia,

Beribu bintang pun seakan menyumbang tawa.

Ketika aku ingin bicara,

Rumput dan dedaunan memberi jeda.

Dan ketika aku merasa sepi,

Dunia seolah-olah ikut mati.

Yogyakarta, 17 Maret 2009

Mereka menertawakan saya dan mengatai saya. Mereka bilang saya tolol. Karena saya lebih suka memakai kostum monyet daripada manusia. Karena saya lebih suka bertingkah seperti monyet ketimbang manusia. Saya menertawakan dan mengatai mereka yang menertawakan dan mengatai saya. Saya bilang mereka tolol. Karena mereka lebih suka memakai kostum manusia daripada monyet. Karena mereka lebih suka bertingkah seperti manusia ketimbang monyet. Mereka heran. Maka tampak bertambah tolol lah mereka yang menertawakan dan mengatai saya itu. Saya lebih memilih untuk menjadi monyet yang memang tidak dikaruniai akal lebih oleh Tuhan. Daripada menjadi manusia yang ternyata berakal tak lebih baik dari monyet

Yogyakarta, 21 Maret 2009

TERLARANG

Kala itu, sang Biduan tengah terduduk

Tampak sepi.

Bahkan sunyi…

Adakalanya mata pemuda itu tengah menatap

Mencuri.

Sarat akan kerinduan…

Sunyi seakan tarian

Kidung pun mendung

Lalu,

“Cinta itu adalah sunyi diantara kita…”

Kata pemuda

“Tak kuanggap diam adalah sunyi. Karena masih ada suara diantara kita.”

Jawab Biduan

Dan memang,

Rintik hujan menjadi pengiring episode terlarang mereka

HUJAN

Hujan tak kunjung reda

Seakan ingin menyelimuti mereka

Yang sedang duduk disana

Di bawah pohon palem,

Di antara kemelut rasa,

Biduan itu,

Pemuda itu,

Bersitatap.

Memompa energi rasa

Hingga memenuhi setiap kekosongan

Pada akhirnya,

Hangatnya hujan menjadi milik mereka…

“Andaikan bumi ini hancur, Langit ini runtuh,

Cinta ini takkan seperti bumi dan langit…”

Kata Pemuda.

“Ah, ironi selalu ada. Harapan pun tak jarang menjadi penghalang.”

Jawab Biduan.

Pemuda mendesah.

Berat.

Dalam.

“Mengapa cinta itu menyakitkan seperti ini?”

Risau Pemuda.

Biduan itu memejamkan mata.

“Cinta itu tidak menyakiti kita. Tapi, keadaanlah yang membuat sakit.”

Pohon palem dan rintik hujan

Masih setia menaungi mereka.

EPILOG KERINDUAN

Gerimis yang sama

Situasi yang sama

Tak ada yang berubah.

Tetap Biduan itu,

Tetap Pemuda itu.

Cinta pun, masih seperti itu

Jika kerinduan itu adalah nyata

Maka, mereka tentu akan bersuka cita

Hanya saja,

Cinta dan rindu itu absurd adanya

Dan kelelahan pun menghampiri mereka

Denpasar, 23 September 2008

Sejak memasuki bangku menengah atas, saya sangat tertarik dengan diskusi tentang perempuan. Entah gender atau feminis. Ada banyak hal menarik tentang perempuan yang harus dikaji. Dan ternyata, selama ini saya menikmati untuk mendalaminya.

Dimulai dari semangat salah satu guru favorit saya saat itu dan juga merupakan kepala sekolah saya, dalam menanamkan ‘implan’ kesuksesan, bahwa kami para perempuan anak didiknya tidak boleh kalah melawan zaman. Saat itu, setiap perkataan dan sikap beliau yang berapi-api dalam menyuarakan kecerdasan otaknya benar-benar membius saya untuk menjadikan beliau salah satu perempuan yang saya kagumi setelah ibu kandung saya. Nama guru saya itu, Ibu Dra. Hj. Umdatul Choirot Nashrullah.

Dengan alasan-alasan tersebut diatas, ternyata masih belum cukup meredam keingintahuan orang-orang disekitar saya, mengapa kajian gender sangat menyita perhatian saya. Dan hal ini benar-benar saya maklumi. Karena ada beberapa alasan lagi yang membuat saya sangat tertarik. Bukan karena saya perempuan. Tetapi, karena saya mengalami apa yang namanya ‘mendapat perlakuan tidak adil dari laki-laki’.

Beberapa tahun sebelum saya lahir, keluarga besar Ibu saya hanya mementingkan pendidikan untuk para anak lelakinya. Anak perempuan hanya cukup belajar memasak dan sekolah seadanya. Tanpa perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kuliah misalnya. Kekurangan dalam mendapatkan ilmu itulah yang kemudian membuat Ibu saya terpompa semangatnya untuk menyekolahkan kelima putrinya (termasuk saya) hingga setinggi-tingginya.

Bukan hanya alasan-alasan tersebut yang membuat saya benar-benar tertarik untuk menggeluti bidang ini. Tetapi, ada banyak dorongan-dorongan yang membuat saya dengan senang hati terjun langsung di dalamnya. Yaitu, nasib para perempuan di negeriku Indonesia yang belum terjamah oleh kemakmuran intelektualitas.

Ketertarikan saya bertambah ketika saya sedang belajar membaca realitas di sekitar saya. Begitu banyak hal berbeda yang menjadi salah satu pengalaman hidup yang menarik. Ada banyak perempuan di negeri tempat saya lahir ini yang benar-benar tidak terkena bias perjuangan Ibu Kita Kartini (selalu terpatri dalam benak saya, bahwa nama Ibu Kartini selalu ada kata ‘Kita’nya, he3). Entahlah, saya merasakan banyak sekali kegelisahan-kegelisahan yang tak teredam dan tak bisa diungkapkan melihat realitas yang ternyata jauh lebih riil dari pengalaman hidup saya (saya merasa sudah sangat tua semenjak merayakan ulang tahun terakhir sehingga wajar menyebutkan kata ‘pengalaman hidup’). Ternyata, kesimpulan yang saya petik adalah… saya salah seorang perempuan paling bahagia di negeriku Indonesia. Karena mampu berfikir tentang kemajuan kaum perempuan dengan intelektualitas tanpa batas. Intinya (tanpa mengurangi rasa GR), saya sudah sangat bersyukur telah menjadi perempuan tanpa pembelaan (terlalu banyak perempuan yang membutuhkan advokasi karena kasus KDRT, pemerkosaan dan lain-lain yang tak mungkin saya sebutkan karena cukup menambah kerut di kening saya) yang telah terpilih untuk membantu sesamanya. Tuhan tahu, saya mampu, hehehe…