Sejak memasuki bangku menengah atas, saya sangat tertarik dengan diskusi tentang perempuan. Entah gender atau feminis. Ada banyak hal menarik tentang perempuan yang harus dikaji. Dan ternyata, selama ini saya menikmati untuk mendalaminya.

Dimulai dari semangat salah satu guru favorit saya saat itu dan juga merupakan kepala sekolah saya, dalam menanamkan ‘implan’ kesuksesan, bahwa kami para perempuan anak didiknya tidak boleh kalah melawan zaman. Saat itu, setiap perkataan dan sikap beliau yang berapi-api dalam menyuarakan kecerdasan otaknya benar-benar membius saya untuk menjadikan beliau salah satu perempuan yang saya kagumi setelah ibu kandung saya. Nama guru saya itu, Ibu Dra. Hj. Umdatul Choirot Nashrullah.

Dengan alasan-alasan tersebut diatas, ternyata masih belum cukup meredam keingintahuan orang-orang disekitar saya, mengapa kajian gender sangat menyita perhatian saya. Dan hal ini benar-benar saya maklumi. Karena ada beberapa alasan lagi yang membuat saya sangat tertarik. Bukan karena saya perempuan. Tetapi, karena saya mengalami apa yang namanya ‘mendapat perlakuan tidak adil dari laki-laki’.

Beberapa tahun sebelum saya lahir, keluarga besar Ibu saya hanya mementingkan pendidikan untuk para anak lelakinya. Anak perempuan hanya cukup belajar memasak dan sekolah seadanya. Tanpa perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kuliah misalnya. Kekurangan dalam mendapatkan ilmu itulah yang kemudian membuat Ibu saya terpompa semangatnya untuk menyekolahkan kelima putrinya (termasuk saya) hingga setinggi-tingginya.

Bukan hanya alasan-alasan tersebut yang membuat saya benar-benar tertarik untuk menggeluti bidang ini. Tetapi, ada banyak dorongan-dorongan yang membuat saya dengan senang hati terjun langsung di dalamnya. Yaitu, nasib para perempuan di negeriku Indonesia yang belum terjamah oleh kemakmuran intelektualitas.

Ketertarikan saya bertambah ketika saya sedang belajar membaca realitas di sekitar saya. Begitu banyak hal berbeda yang menjadi salah satu pengalaman hidup yang menarik. Ada banyak perempuan di negeri tempat saya lahir ini yang benar-benar tidak terkena bias perjuangan Ibu Kita Kartini (selalu terpatri dalam benak saya, bahwa nama Ibu Kartini selalu ada kata ‘Kita’nya, he3). Entahlah, saya merasakan banyak sekali kegelisahan-kegelisahan yang tak teredam dan tak bisa diungkapkan melihat realitas yang ternyata jauh lebih riil dari pengalaman hidup saya (saya merasa sudah sangat tua semenjak merayakan ulang tahun terakhir sehingga wajar menyebutkan kata ‘pengalaman hidup’). Ternyata, kesimpulan yang saya petik adalah… saya salah seorang perempuan paling bahagia di negeriku Indonesia. Karena mampu berfikir tentang kemajuan kaum perempuan dengan intelektualitas tanpa batas. Intinya (tanpa mengurangi rasa GR), saya sudah sangat bersyukur telah menjadi perempuan tanpa pembelaan (terlalu banyak perempuan yang membutuhkan advokasi karena kasus KDRT, pemerkosaan dan lain-lain yang tak mungkin saya sebutkan karena cukup menambah kerut di kening saya) yang telah terpilih untuk membantu sesamanya. Tuhan tahu, saya mampu, hehehe…

0 komentar:

Posting Komentar